Salah satu topik yang dibahas dalam sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Kampung Sereh adalah, “Praktek-praktek Demokrasi Masyarakat Adat: Peluang dan Tantangannya”.
Sentani, MC KMAN VI – ADA lima narasumber dari perwakilan lima lembaga yang menjadi pembicara dalam sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMan) keenam di Kampung Sereh Distrik Sentani Kabupaten Jayapura pada Selasa 25 Oktober 2022, dengan topik: “Praktek-Praktek Demokrasi Masyarakat Adat: Peluang dan Tantangannya”. Setiap pembicara membawakan materi dengan tema berbeda.
Perkembangan demokratisasi di Indonesia menunjukkan hal yang unik. Iklim demokrasi di Indonesia bersifat dual politics (Bayo, 2018). Satu sisi, prinsip universalisme mendominasi praktik demokrasi dan mendorong ke arah penyeragaman sistem politik di Indonesia. Dan sisi kedua, reformasi yang bergulir beriringan dengan desentralisasi membuka ruang bagi kebangkitan politik lokal di Indonesia. Tuntutan publik untuk mendorong diakomodasinya ragam sistem politik lokal yang berkembang jauh sebelum demokrasi hadir kemudian mengemuka untuk dapat diterapkan di tingkat nasional.
Sejak kejatuhan Soeharto, memudarnya kekuasaan negara yang sentralistik pasca-Orde Baru memberikan peluang bagi apa yang disebut oleh Jamies Davidson (2010) sebagai kebangkitan politik Masyarakat Adat. Reformasi kemudian menjadi penanda atas terbukanya sistem pemerintahan dengan lahirnya Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Desentralisasi, yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi pemerintahan lokal dapat berlandaskan asal-usul dan adat-istiadat.
Undang-undang tentang desentralisasi ini, kemudian membangkitkan euforia pemerintahan adat untuk hidup kembali setelah sekian lama di marjinalisasi oleh Orde Baru.
Di tengah semakin menguatnya tradisionalisme masa reformasi, UU RI Nomor 22 Tahun 1999, ternyata tidak benar-benar membangkitan pemerintahan adat beserta nilai-nilai lokal yang dihancurkan pada masa Orde Baru. UU RI No 22 Tahun 1999 hanya fokus terhadap perubahan sistem politik yang awalnya sentralistik ke arah desentralisasi.
Namun luput mengakui dan menghormati Masyarakat Adat beserta seperangkat hak tradisionalnya. Celakanya, di pihak pemerintah pusat merasa persoalan imaji ini sudah selesai dengan “transaksi imaji” secara elitis saat Orde Baru runtuh. Sehingga Indonesia dianggap mewarisi “tanah kosong” yang siap diformat sesuka hatinya saat reformasi bergulir (Davidson, 2018).
Padahal kondisi ini jelaslah jauh dari realitas, karena membayangkan “kosong” di peta politik Indonesia namun senyatanya di lapangan tidaklah kosong. Imaji “kekosongan” inilah yang kemudian membuat perkembangan demokrasi pasca reformasi jauh dari konteksnya.
Demokrasi yang berkembang pada masa reformasi terjebak pada logika prosedural dan administratif. Penerapannya pun cenderung top-down tanpa mempertimbangkan sosio-kultur dimana sistem tersebut diterapkan. Akhirnya, di banyak tempat seperti Huta di Sumatera Utara, Wanua di Sulawesi Utara, Nagari di Sumatera Barat, dan Lembang di Toraja menganggap model demokrasi yang universal yang saat ini dikembangkan oleh negara merusak tatanan adat. Mereka dipaksa untuk tunduk pada logika baru negara yang hadir tanpa adanya ruang untuk melakukan negosiasi (Fikri, 2018).
Demokrasi liberal yang cenderung proseduralistik menjadi tantangan bagi partisipasi politik Masyarakat Adat. Seperti misalnya pilihan atas sistem dan desain pemilu kita. Semakin rumit pilihan atas sistem dan desain pemilu, semakin sulit warga negara untuk turut berpartisipasi aktif dalam Pemilu (Reeve, 2001).
Tak bisa kita pungkiri bahwa pilihan atas sistem dan desain Pemilu masih jauh dari kata sempurna. Pada Pemilu 2019 lalu misalnya, hampir diseluruh wilayah menuai banyak kritik, mulai dari penyelenggaraannya hingga ragam pelanggaran yang terjadi.
Banyak pihak menilah bahwa Pemilu 2019 adalah yang paling berat dan rumit dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Hal itu diukur dari sejumlah kompleksitas yang ada, sebagai akibat dari sistem pemilu yang digelar secara serentak.
Tidak berhenti disitu, dalam konteks representasi politik Masyarakat Adat misalnya, para pemangku kepentingan seringkali abai terhadap aspek sosio-kultural dalam penyusunan daerah pemilihan. Aspek sosio-kultural dalam penyusunan daerah pemilihan disebut sebagai prinsip kohesivitas.
Dalam UU RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa salah satu dari tujuh prinsip penyusunan daerah pemilihan adalah kohesivitas. Seyogianya pembentukan daerah pemilihan (dapil) harus memenuhi beberapa prinsip utama: Pertama, kesetaraan antar warga negara (equality).
Kedua, integralitas wilayah yaitu daerah pemilihan merupakan sebuah satu kesatuan wilayah geografis maupun administratif. Ketiga, proporsionalitas yaitu memperhatikan kesetaraan alokasi kursi antar daerah pemilihan dan prinsip terakhir adalah kohesivitas yakni penyusunan daerah pemilihan dengan memperhatikan kesatuan unsur sosial-budaya masyarakat.
Setiap prinsip ini saling berkesinambungan dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika terdapat prinsip yang terabaikan, maka akan terjadi Garrymandaring atau pembentukan daerah pemilihan yang secara sistematis menguntungkan pihak atau partai tertentu. Konsekuensi dari garrymandaring adalah tidak terciptanya prinsip integritas kesatuan wilayah (IPC, 2017).
Konteks permasalahan di atas menunjukkan bahwa antara logika proseduralistik dalam demokrasi liberal seringkali tidak relate dengan realitas masyarakat yang kompleks di Indonesia. Demokrasi liberal justru menjadi penghambat partisipasi masyarakat secara penuh dalam Pemilu. Selain itu, dalam satu dekade belakangan pun berkembang kompetisi antara narasi universalisme dan narasi hak asal-usul Masyarakat Adat dalam demokrasi di Indonesia.
Sarasehan Kongres Masyarakat Adat Nusantara keenam di Kampung Sereh Kabupaten Jayapura tentang Praktek-Praktek Demokrasi Masyarakat Adat: Peluang dan Tantangannya bertujuan untuk mengelaborasi praktek-praktek demokrasi masyarakat adat baik dari aspek kelembagaan adat, partisipasi Masyarakat Adat hingga praktik-praktik pranata adat dalam kehidupan berdemokrasi.
Selain itu, Sarasehan ini juga akan mendiskusikan rekayasa kebijakan untuk mendorong pemenuhan dan perlindungan hak politik Masyarakat Adat serta pengakomodasian praktek-praktek demokrasi masyarakat adat dalam demokrasi nasional.
Tujuan sarasehan KMan dengan topik, “Praktek-Praktek Demokrasi Masyarakat Adat: Peluang dan Tantangannya, adalah: 1) Mendiskusikan praktek-praktek demokrasi Masyarakat Adat baik dari aspek kelembagaan, partisipasi hingga relasi kuasa. 2) Mendiskusikan rekayasa kebijakan untuk mendorong pemenuhan dan perlindungan hak politik Masyarakat Adat serta kebijakan pengakomodasian praktek-praktek demokrasi masyarakat adat dalam demokrasi nasional. 3) Rekomendasi kepada organisasi terkait agenda perluasan partisipasi politik Masyarakat Adat. Hasil sarasehan KMan di Kampung Sereh Kabupaten Jayapura ini diharapkan akan dijadikan sebagai policy paper.
Para narasumber yang menjadi pembicara dalam sarasehan KMan keenam di Kampung Sereh, ada lima, yaitu: 1) Erasmus Cahyadi, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Urusan Politik, dengan materi, “Penguatan Partisipasi Politik Masyarakat Adat: Kritik dan Solusi Terhadap Politik Elektoral”. 2) Prof. Purwo Santoso, Guru Besar Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan materi, “Rezim Lokal di Indonesia dan Proyeksinya Dalam Sistem Politik Nasional”.
Pembicara ketiga, August Melaz, Anggota Komisi Pemilihan Umum RI, dengan materi, “Proyeksi Pemilu 2024: Perlindungan Partisipasi Politik Kelompok Rentan”. 4) Prof. Sulistyowati, dengan materi, “Perempuan Adat dan Demokrasi”. 5) Erik Kurniawan, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, dengan materi, “Launching Hasil Riset Praktek-Praktek Demokrasi Masyarakat Adat”.
Kelima narasumber dalam sarasehan di Kampung Sereh itu dipandu oleh Adnan Magrhibi dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi di Obhe Kampung Sereh, pada Selasa 25 Oktober 2022 mulai pukul 09.00 pagi hingga ditutup pukul 11.45 siang.
Sumber: MC KMANVI Kab. Jayapura