Sentani, MC KMAN VI – Ketua Dewan AMAN Nasional (DAMANNAS) Abdon Nababan menegaskan Masyarakat Adat tidak bisa disamakan dengan Kerajaan atau Kesultanan karena posisi konstitusionalnya sangat berbeda. Penegasan ini disampaikan Abdon Nababan saat menjadi keynote speaker dalam sarasehan bertajuk “Memperjelas Kedudukan dan Hak Konstitusi Masyarakat Adat dan Kerajaan atau Kesultanan di Indonesia” di Obhe Sereh, Jayapura Papua beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan itu, Abdon menyatakan kerajaan atau kesultanan punya sejarah yang tidak bisa disamakan dengan Masyarakat Adat.
Untuk itu, dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI ini, lanjut Nababan, kita ingin memberikan penegasan posisi dan status yang berbeda antara Masyarakat Adat dan Kerajaan atau Kesultanan. Meski dalam konstitusi kita sudah berbeda, sebut Abdon, kita melihat ada suatu upaya yang bisa mengaburkan batas antara Masyarakat Adat dan Kerajaan atau Kesultanan.
Dijelaskan bahwa Kerajaan atau Kesultanan merupakan negara yang ada sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jika mereka (kerajaan atau kesultanan) diterima sebagai pemerintah, artinya harus ada reorganisasi pemerintahan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Itu bisa berakibat pada pengambilalihan hak-hak Masyarakat Adat yang dulu di bawah Kerajaan dan Kesultanan” tegasnya.
Dalam konteks ini, kata Abdon, Masyarakat Adat bisa berhadapan dengan “dua negara” sekaligus.
“Dengan satu Negara Republik Indonesia saja masih banyak persoalan yang menimbulkan konflik, apalagi ditambah kehadiran Kerajaan dan Kesultanan. Karena itu, AMAN menegaskan Masyarakat Adat itu berbeda dengan entitas Kerajaan dan Kesultanan,” ujarnya.
Untuk itu, dirinya mengatakan bahwa sejak 2021 lalu, teman kita dari Kerajaan dan Kesultanan sedang memperjuangkan Undang-Undangnya sendiri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka berjuang lewat DPD RI supaya ada dasar mereka punya posisi dan status hukum di negara ini.
“RUU yang sedang mereka usulkan lewat perwakilan DPD RI namanya RUU Perlindungan dan Pelestarian Budaya Adat Kerajaan Nusantara,” ungkap Abdon.
Sementara kita dari Masyarakat Adat, sebut Abdon, sedang berjuang lebih dari 10 tahun supaya memiliki UU yang mengakui dan memberikan perlindungan kepada Hak-Hak Masyarakat Adat, yaitu UU Masyarakat Adat.
Dua RUU ini, kata Abdon, kalau kita tidak cermat dan memberikan batas yang jelas dan tegas, ini bisa menjadi sumber masalah baru. Jangan-jangan wilayah adat yang sedang diperjuangkan oleh Masyarakat Adat tidak kembali ke tangan kita, tapi kembali ke Kerajaan dan Kesultanan.
Karena itu, pihaknya akan terus mendorong RUU Masyarakat Adat tidak boleh disamakan dengan Kerajaan dan Kesultanan karena posisi konstitusionalnya berbeda.
Ia menerangkan saat ini di Indonesia, kita melihat dan merasakan perkembangan satu gerakan yang dibangun dari kalangan kerajaan saat ini.
“Ada tujuh organisasi yang dibangun untuk memperjuangkan pemulihan kembali Kerajaan dan Kesultanan agar bisa menjadi bagian dari pemerintahan RI,” ungkapnya.
Sementara itu, Alfrida Ngato dari Masyarakat Adat Pagu yang turut menjadi pemateri dalam sarasehan ini menyatakan bahwa Kerajaan dan Kesultanan masih eksis di Ternate-Tidore. Ia minta kepada negara untuk mempertegas kedudukan Kerajaan dan Kesultanan yang ada di daerah tersebut.
Menurutnya, hal ini penting karena dalam banyak kasus di Tidore sering sekali para pengelola negara belum paham siapa yang dimaksud dengan Kerajaan atau Kesultanan dan Masyarakat Adat.
“Harusnya orang-orang yang mengelola negara ini paham siapa Kesultanan dan Masyarakat Adat,” katanya.
Alfrida menambahkan ketidakpahaman para pengelola negara ini bisa menimbulkan dampak negatif dalam penyelesaian masalah di satu tempat. Ia mencontohkan saat ada permasalahan di kampungnya, yang didatangi para pengelola negara hanya pihak Kesultanan.
“Ini tidak baik, kalau pengelola negara saja tidak paham siapa Kesultanan dan Masyarakat Adat, bagaimana mungkin mereka dapat bertindak adil,” kata Alfrida.
Sumber: MC KMANVI Kab. Jayapura